Semua tiba-tiba menyeruak serentak tanpa ampun, menunda yang tak terkontrol, sungguh malas di rasa, karna kebiasaan pula.

Ini buruk, jangan terus menerus begini. 

Aku mencoba memikirkan sesuatu hal yang dasar, tentang sebutan Pasangan Sah itu apa, Istri atau Teman Hidup? Entahlah. 

Teman hidup dapat di artikan sebagai istri dan Istri dapat di artikan sebagai teman hidup, tergantung dari sudut mana kamu melihatnya. Keduanya dapat kamu artikan sebagai Pasangan Sah.

Istri adalah Pasangan Sah yang terikat dalam sebuah janji pernikahan. Teman Hidup pun demikian, adalah Pasangan Sah yang terikat dalam sebuah janji pernikahaan. 

Janji Pernikahan adalah sebuah mantra yang sangat mengikat agar keduanya selalu bersama suka mau pun duka.

Istri atau Teman Hidup? Aku melihat hal ini bukan hanya sebuah istilah semata, ada unsur yang dapat mempengaruhi Psikologi kamu saat menggunakan salah satu-nya. Atau mungkin akan mempengaruhi kamu dalam memandang Pasangan Sah mu, apa dan siapa dia. 

Sepertinya terlihat sepele namun aku akan berusaha memperlihatkan kepadamu dimana letak perbedaannya. Aku harap kamu dapat membaca-nya dengan pikiran yang terbuka, aku tidak ingin kita saling menuding soal di luar ini benar atau salah, kamu dapat memilih apa yang kamu inginkan. Aku tidak memaksa mu untuk setuju dengan apa yang akan aku coba jelaskan disini. Semua kembali pada diri sendiri, pilih apa yang memang menurut hemat mu benar.

Aku melihat-nya sebagai sosok atau seseorang yang selalu berada dekat dengan mu, tepatnya satu langkah berada di belakang mu. Layaknya seorang pengikut, yang kemana arah kamu pergi ia akan selalu mengikuti. Harus selalu patuh, seperti ajudan? atau mungkin sekretaris? atau mungkin penasihat? atau mungkin seorang pendukung yang tugasnya untuk mendukung, entahlah.

Sampai disini apa kamu sependapat dengan ku? Apa kamu mulai melihat apa yang aku coba pikirkan? Kiranya apa yang kamu sudah tangkap tentang makna Istri yang ada di dalam pikiran ku dari sedikit penjelasan di atas?

Apa aku boleh berpendapat seperti ini, jika kamu menyebutnya dengan sebutan Istri, Ia adalah seseorang yang akan selalu ada di belakang mu, yang tidak mungkin bisa berjalan sejajar, karena ia adalah seorang Makmum untukmu. Apa kamu setuju dengan ini?

Istri adalah sebuah istilah formal yang sangat kaku pemaknaannya namun sederhana dalam melafalkannya, seseorang yang posisinya tidak akan bisa di pindah ke samping kanan, kiri atau pun depan, ia akan selalu berada satu langkah di belakang kamu.

Semakin dalam kamu memikirkannya mungkin pemaknaan di atas akan mulai masuk dan menerimanya sebagai sebuah kebenaran.

Ini hanya sebuah pemikiran, sebuah pemikiran yang tiba-tiba terbesit di fikiran saya saat malam menjelang pagi tiba, dan saya tidak bisa tidur, namun rasanya ingin menuliskannya dalam sebuah tulisan, ini lah hasilnya.

Aku hanya lah manusia biasa, tentunya, sifatku ini sangatlah manusiawi, semua orang bisa memilikinya, hal itu tergantung dari pribadi masing masing, mau atau tidak mengakuinya. Angan ini merasa bimbang ditengah keinginan yang tak berimbang dengan perbuatan, semua nampak semu di depanku, walau begitu, aku selalu menyisihkan rasa optimis akan hal yang ingin ku raih. Dirasa tak masuk akal pun aku tetap mengasihinya.

Tak pandang apa pun itu, selama aku suka, ya akan ku lakukan dan menjalaninya dengan hati senang.

Akhir-akhir ini aku sangat kehilangan fokus ku, semuanya selalu meleset dari perkiraan. Merasa produktifitas menurun, entah apa sebabnya aku sendiri pun bingung. Dengan rutinitas yang seperti ini harusnya aku sudah terbiasa, karena dulu pun aku selalu begini, bedanya dulu aku tetap produktif.

Aku curiga pada satu faktor, kebiasaan menunda-nunda ku makin kesini makin parah, jika dipikir-pikir. Tanpa sadar itu telah menjadi kebiasaan yang nikmat namun agak kamvret.

Coba beri masukan apa yang harus ku lakukan dengan situasi yang seperti ini? Kebiasaan menunda-nunda ku itu menyebalkan, keneapa? karena secara saya pribadi sungguh tak ingin menunda-nunda seperti itu, tapi tetap saja ku lakukan.

Aku seperti terdoktrin dimana hal itu menjadi candu bagi ku, sungguh sulit tuk lepas sepenuhnya dari prilaku yang sudah menjadi keiasaan seperti ini.

Di lain hal kadang aku suka kaget dengan apa yang di hasilkan oleh kebiasaan baru ku ini, ingin sekali aku marah pada diriku sendiri, namun itu tak bisa ku lakukan, karena, itu konyol. Tidak akan berefek apa-apa. Ibaratkan membelah air degan pisau, seperti itu lah hasilnya, nol hasilnya, dia akan kembali seperti semula.

Berat sekali di pikiran ku, ibarat memori yang sudah penuh, ingin sekali aku menghapus hal-hal yang tidak perlu agar semua menjadi segar kembali. Keluh ku ini sungguh benar adanya, ini bukanlah fiksi, saat ini aku benar-benar pasif, sungguh merasa pasif dengan kemajuan yang lamban, sial.

Padat sekali, kanan kiri ku penuh. Semua serba ingen maju, tapi lebarnya hanya segitu.

Repotlah, bagai lebah, semua seakan siap menyengat. Harus sabar, karna jika satu tersungkur jatuh semua akan kacau.

Memang kodratnya harus begini, mungkin. Sudah tak segar rasanya hirupan ku, bala, semua berserak tak tentu, sesukanya saja.

Bak semedi, diatas sini kupejamkan mata sembari melaju dimana semuanya sudah di atur, tinggal menunggu sampai.

Rela aku, semua itu demi tujuan ku, biasa dibilang ini adalah cita ku. Risih sebenarnya, tapi ku coba menikmatinya sedikit demi sedikit.

Disini tempatnya ego, ku pikir apa hanya aku yang membuntut. Semuanya hampir setara 1 banding 1 atau mungkin 1 banding 3 atau 1 banding 5.

Bonggol mu, kau menghalangi saja, lajuku melamban namun seketika kembali normal, walau tadi sedikit terhambat.

Singkatnya aku telah sampai, karna sangat riskan jika ku ceritakan semua, karna aku harus fokus dahulu sejenak, bye

Hanya tinggal satu putaran jarum pendek di tangan, tak banyak, namun ini terasa lama. Dua putaran sebelumnya ku pakai untuk tidur sembari duduk.

Aku merasa ngantuk, tak terasa dua putaran jarum di tangan sudah berlalu. Keseluruhan ada tiga putaran.

Sepanjang kanan kiri ku tersaji padang hijau yang menghipnotis jika dilihat, secara kita sedang melaju kencang.

Satu putaran ini sungguh membuat ku bosan. Kuputar syair nada di telinga, namun itu tak bisa menutup kebosanan ku.

Sampai guratan paragraf ini ku tulis, aku masih merasakan bosan.

Ada seorang kake di sebelahku, ia terpisah dengan kerabatnya yang lain, dia hanya sendiri di 12. Sesekali kerabatnya menyapa sang kake di 12.

Aku perhatikan, teramat senang sepertinya, karena ada pucuk turunan kecil yang di bawa kerabatnya. Kake di sebelah ku pun tersenyum senang karena di datang.

Aku ikut senang, walau tak ada siapa pun. Disini aku melaju sendiri selama tiga putaran jarum pendek di tangan.

Tak terasa hampir setengah putaran ku habiskan untuk menulis ini. Sedikit terobati, karena setengah putaran jarum berikutnya aku sudah tiba harusnya.

Pyuh... Akhirnya...

Inilah aku, ini gaya ku, ini jalan ku dan inilah caraku. Menutur boleh, namun tak mesti sama. Beda kepala beda isi, pemirikannya pun beda.

Dulu aku sering begitu, lambat laun aku coba menyingkir mengikuti yang lain, mencoba membuat jalan ku sendiri.

Sulit memang, aku mencoba tuk berusaha agar tidak membuntut. Mencoba berdiri tegak tanpa sanggahan, walau dulu itu nyata adanya.

Jangan pandang aku sombong, bukan itu maksudku. Aku tak ingin terlihat lebih sedikit, yang ku mau beda walau sedikit.

Aku tak mau jadi corak yang teratur rapih, dimana semua tertata mengikuti alurnya. Aku tak mau seperti itu, itu bukan gaya ku.

Tak manis, ini sungguh tak berirama. Berpatah-patah, ini bukan sajak, bukan puisi, apa lagi syair, tak ada satupun yang cocok.

Abstrak, cukup pas menurut ku, ini hanya berisi penggalan kata yang tak beraturan. Tak indah di pandang, tak indah di baca, apa lagi di dengarkan.

Sungguh pendek per katanya, kertas sesaku pun tak akan penuh jika di isikan. Tak lebih dari 9 kata per kalimat.

Hemat tulisannya, padahal banyak daya muatnya. Dia bilang agar cepat habis, bosan jika banyak. Jangan hiraukan, itu hanya sepengalamannya saja.

Ini hampir sampai lima, apa ini bisa lebih?

Sepertinya lebih, ini sudah yang ke enam. Hmm ko begini? mulai ngawur. Mungkin akhiri saja di yang ke tujuh, jika tak muat, lanjutkan sampai ke delapan.

Sungguh tak ada kata yang ingin ku tulis, dari tadi hanya banyolan acak saya yang tertuang. Risih, mungkin ku akhiri saja sampai disini.

Maaf tak ada delapan.